Breaking News

Saturday, January 21, 2017

KEGIATAN EKONOMI YANG DILARANG DALAM ISLAM: RIBA

Pengertian dan Sejarah Riba
        Ditinjau dari ilmu bahasa arab, kata riba berarti tambahan, tumbuh dan menjadi tinggi. Firman Allah Swt. Dalam Al-qur’an surat Al-Hajj ayat 5 menyatakan bahwa:
            “Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian Kami turunkan air diatasnya, hiduplah bumi itu dan menjadi tinggi dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah”.
    Adapun dalam pemahaman syariat, para ulama berbeda-beda ungkapannya dalam menafsirkannya. Akan tetapi untuk maksud dan maknanya tidak jauh berbeda. Diantaranya adalah: “Suatu akad/transaksi atas barang tertentu yang ketika akad berlangsung tidak diketahui kesamaannya menurut ukuran syariat atas dengan menunda penyerahan kedua barang menjadi objek akad atau salah satunya”.
            Dibawah terdapat beberapa pengertian riba menurut pakar:
  1. Riba adalah suatu akad atau transaksi atas barang yang ketika akad berlangsung tidak diketahui kesamaannya menurut syariat atau dengan menunda penyerahan kedua barang yang menjadi objek akad atau salah satunya (Mughni Muhtaj oleh Syarbini).
  2. Menurut Al-Jurnaini mendefinisikan riba sebagai kelebihan atau tambahan pembayaran tanpa ada ganti atau imbalan yang disyariatkan dari salah seorang bagi dua orang yang membuat akad.
  3. Menurut Imam Ar-Razi dalam tafsir Al-Qur’an, riba adalah suatu perbuatan mengambil harta kawannya tanpa ganti rugi, sebab orang yang meminjamkan uang Rp. 1000 mengganti dengan Rp. 2000. Maka ia mendapat tambahan Rp. 1000 tanpa ganti.
  4. Menurut Ijma Fatwa Ulama Indonesia, riba adalah tambahan tanpa imbalan yang terjadi karena penanggungan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya atau biasa disebut dengan riba nasi’at.
        Riba (rente) dalam hukum islam adalah usaha orang kaya menambahkan kekayaannya dari orang miskin. Lebih lanjut, hukum bagi orang yang mempraktekan riba ini secara tegas diharamkan oleh Allah ta’ala, sesuai dengan firmannya:
            Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka permaklumkanlah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; Kami tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (QS. Al-Baqarah: 278-279)
            Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila”. (QS. Al-Baqarah : 275).
          Kritik riba dalam islam sudah ada sejak Nabi Muhammad dan diperkuat oleh berbagai ajarannya didalam Al-Qur’an.
            Beberapa agama besar pun tidak tinggal diam untuk mengutuknya. Praktek riba dalam agama Hindu dan Budha dapat kita temukan dalam naskah kuno India. Teks-teks Veda India kuno (2.000-1.400 SM) mengisahkan “lintah darat” (kusidin) disebutkan sebagai pemberi pinjaman dengan bunga atau dalam teks Sutra (700-100 SM) dan Jataka Buddha (600-400 SM) menggambarkan situasi sentimen yang menghina riba. Sebagai contoh, Vasishtha, seorang Hindu terkenal pembuat hukum waktu itu, membuat Undang-Undang Khusus yang melarang kasta yang lebih tinggi dari Brahmana (pendeta) dan Ksatria (pejuang) menjadi rentenir atau pemberi pinjaman dengan bunga tinggi. Juga, dalam Jataka, riba disebut sebagai “hypocritical ascetics are accused of practising it”.  Pada abad kedua, riba telah menjadi istilah yang lebih relatif, seperti yang tersirat dalam hukum Manu, “ditetapkan bunga melampaui tingkat hukum yang berlaku”.
            Riba (rente) dalam Yudaisme sangat dicerca dan dicemooh. Kata Ibrani untuk bunga ‘nesekh’, secara harfiah berarti menggigit. Pengertian ini merujuk pada bunga tinggi yang menyengsarakan. Dalam Keluaran dan Imamat, kata ‘riba’ selalu berkaitan dengan pelarangan pinjaman kepada orang miskin dan melarat. Sementara dalam Ulangan, larangan ini diperluas untuk mencakup semua peminjaman uang. Selain itu, kitab Talmud melarang mengambil bunga dalam beberapa jenis kontrak penjualan, sewa dan kerja. Larangan mendapatkan bunga tinggi tersebut tidak dianggap sebagai kejahatan dengan sanksi pidana mati melainkan hanya sebagai pelanggaran moral.
            Gereja Katholik Roma sejak abad ke-4 melarang pengambilan bunga oleh para Kleru. Larangan ini diperluas bagi kaum awam pada abad ke-5. Pada abad ke-8, Gereja Katholik menyatakan riba menjadi tindak pidana umum, gerakan anti-riba terus mendapatkan tempat selama awal abad pertengahan. Puncaknya, pada tahun 1311 M, Paus Clement V membuat larangan riba dan menyatakan bahwa semua Undang-Undang yang mendukung batal demi hukum.
            Pada tahun 1891, Paus Leo XIII dalam “Rerum Novarum”, riba dikatakan sebagai kerakusan, walau sering dikutuk gereja, praktek ini masih sering terjadi. Bahkan pad tahun 1989 M Paus Yohanes Paulus II dalam Solicitude rei Socialis secara eksplisit menuduh praktek riba sebagai penyebab krisis dunia ketiga. Sampai pada titik ini, kita-pun sepakat bahwa praktek riba yang ditawarkan di pasar-pasar tradisional kita sebenarnya suatu kerakusan. Agama secara jelas mengutuknya sebagai cara orang-orang kaya memperoleh tambahan penghasilan dari memeras keringat orang miskin.

Macam-Macam Riba
Ada beberapa macam riba yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya:
1.      Riba Qardh, suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).
2.      Riba Jahiliyah, hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
3.      Riba Fadhl, pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
4.      Riba Nasi’ah, penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.

Hikmah Diharamkannya Riba

Keharusan berekonomi secara syariah ini lantaran penerapannya memiliki manfaat yang sangat besar bagi umat islam. Pertama, umat islam bisa menjalankan agamanya dalam bidang ekonomi yang pada gilirannya menggiringnya kepada pengamalan islam secara utuh. Kedua, menerapkan dan mengamalkan sistem ekonomi syariah akan mendapat dua keuntungan, yaitu keuntungan duniawi dan keuntungan ukhrawi. Keuntungan duniawi berupa uang, keuntungan ukhrawi berupa pahala ibadah melalui pengamalan syariah islam serta terhindar dari dosa riba. Ketiga, memajukan ekonomi islam lewat lembaga keuangan syariah, umat islam berupaya mengentasakan kemiskinan.

No comments:

Post a Comment

Designed By Published.. SUPERSUB