Pengertian dan Sejarah Riba
Ditinjau dari ilmu bahasa arab, kata riba berarti tambahan,
tumbuh dan menjadi tinggi. Firman Allah Swt. Dalam Al-qur’an surat Al-Hajj ayat
5 menyatakan bahwa:
“Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian
Kami turunkan air diatasnya, hiduplah bumi itu dan menjadi tinggi dan
menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah”.
Adapun dalam
pemahaman syariat, para ulama berbeda-beda ungkapannya dalam menafsirkannya. Akan
tetapi untuk maksud dan maknanya tidak jauh berbeda. Diantaranya adalah: “Suatu akad/transaksi atas barang tertentu
yang ketika akad berlangsung tidak diketahui kesamaannya menurut ukuran syariat
atas dengan menunda penyerahan kedua barang menjadi objek akad atau salah
satunya”.
Dibawah terdapat beberapa pengertian
riba menurut pakar:
- Riba adalah suatu akad atau transaksi atas barang yang ketika akad berlangsung tidak diketahui kesamaannya menurut syariat atau dengan menunda penyerahan kedua barang yang menjadi objek akad atau salah satunya (Mughni Muhtaj oleh Syarbini).
- Menurut Al-Jurnaini mendefinisikan riba sebagai kelebihan atau tambahan pembayaran tanpa ada ganti atau imbalan yang disyariatkan dari salah seorang bagi dua orang yang membuat akad.
- Menurut Imam Ar-Razi dalam tafsir Al-Qur’an, riba adalah suatu perbuatan mengambil harta kawannya tanpa ganti rugi, sebab orang yang meminjamkan uang Rp. 1000 mengganti dengan Rp. 2000. Maka ia mendapat tambahan Rp. 1000 tanpa ganti.
- Menurut Ijma Fatwa Ulama Indonesia, riba adalah tambahan tanpa imbalan yang terjadi karena penanggungan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya atau biasa disebut dengan riba nasi’at.
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah
kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu
orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba),
maka permaklumkanlah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; Kami tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (QS. Al-Baqarah: 278-279)
Orang-orang yang makan (mengambil)
riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan
syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila”. (QS. Al-Baqarah : 275).
Kritik riba dalam islam sudah ada sejak Nabi Muhammad dan
diperkuat oleh berbagai ajarannya didalam Al-Qur’an.
Beberapa agama
besar pun tidak tinggal diam untuk mengutuknya. Praktek riba dalam agama Hindu
dan Budha dapat kita temukan dalam naskah kuno India. Teks-teks Veda India kuno
(2.000-1.400 SM) mengisahkan “lintah darat” (kusidin) disebutkan sebagai
pemberi pinjaman dengan bunga atau dalam teks Sutra (700-100 SM) dan Jataka
Buddha (600-400 SM) menggambarkan situasi sentimen yang menghina riba. Sebagai contoh,
Vasishtha, seorang Hindu terkenal pembuat hukum waktu itu, membuat
Undang-Undang Khusus yang melarang kasta yang lebih tinggi dari Brahmana
(pendeta) dan Ksatria (pejuang) menjadi rentenir atau pemberi pinjaman dengan
bunga tinggi. Juga, dalam Jataka, riba disebut sebagai “hypocritical ascetics
are accused of practising it”. Pada abad
kedua, riba telah menjadi istilah yang lebih relatif, seperti yang tersirat
dalam hukum Manu, “ditetapkan bunga melampaui tingkat hukum yang berlaku”.
Riba (rente)
dalam Yudaisme sangat dicerca dan dicemooh. Kata Ibrani untuk bunga ‘nesekh’,
secara harfiah berarti menggigit. Pengertian ini merujuk pada bunga tinggi yang
menyengsarakan. Dalam Keluaran dan Imamat, kata ‘riba’ selalu berkaitan dengan
pelarangan pinjaman kepada orang miskin dan melarat. Sementara dalam Ulangan,
larangan ini diperluas untuk mencakup semua peminjaman uang. Selain itu, kitab
Talmud melarang mengambil bunga dalam beberapa jenis kontrak penjualan, sewa
dan kerja. Larangan mendapatkan bunga tinggi tersebut tidak dianggap sebagai
kejahatan dengan sanksi pidana mati melainkan hanya sebagai pelanggaran moral.
Gereja Katholik
Roma sejak abad ke-4 melarang pengambilan bunga oleh para Kleru. Larangan ini
diperluas bagi kaum awam pada abad ke-5. Pada abad ke-8, Gereja Katholik
menyatakan riba menjadi tindak pidana umum, gerakan anti-riba terus mendapatkan
tempat selama awal abad pertengahan. Puncaknya, pada tahun 1311 M, Paus Clement
V membuat larangan riba dan menyatakan bahwa semua Undang-Undang yang mendukung
batal demi hukum.
Pada tahun
1891, Paus Leo XIII dalam “Rerum Novarum”, riba dikatakan sebagai kerakusan,
walau sering dikutuk gereja, praktek ini masih sering terjadi. Bahkan pad tahun
1989 M Paus Yohanes Paulus II dalam Solicitude rei Socialis secara eksplisit
menuduh praktek riba sebagai penyebab krisis dunia ketiga. Sampai pada titik ini,
kita-pun sepakat bahwa praktek riba yang ditawarkan di pasar-pasar tradisional
kita sebenarnya suatu kerakusan. Agama secara jelas mengutuknya sebagai cara orang-orang
kaya memperoleh tambahan penghasilan dari memeras keringat orang miskin.
Macam-Macam Riba
Macam-Macam Riba
Ada beberapa macam riba yang biasa terjadi dalam kehidupan
sehari-hari, diantaranya:
1. Riba Qardh, suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu
yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).
2. Riba Jahiliyah, hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena
si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
3. Riba Fadhl, pertukaran antar barang sejenis dengan kadar
atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk
dalam jenis barang ribawi.
4. Riba Nasi’ah, penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis
barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam
nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara yang diserahkan
saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
Hikmah
Diharamkannya Riba
Keharusan berekonomi secara syariah ini lantaran
penerapannya memiliki manfaat yang sangat besar bagi umat islam. Pertama, umat
islam bisa menjalankan agamanya dalam bidang ekonomi yang pada gilirannya
menggiringnya kepada pengamalan islam secara utuh. Kedua, menerapkan dan
mengamalkan sistem ekonomi syariah akan mendapat dua keuntungan, yaitu
keuntungan duniawi dan keuntungan ukhrawi. Keuntungan duniawi berupa uang,
keuntungan ukhrawi berupa pahala ibadah melalui pengamalan syariah islam serta
terhindar dari dosa riba. Ketiga, memajukan ekonomi islam lewat lembaga
keuangan syariah, umat islam berupaya mengentasakan kemiskinan.
No comments:
Post a Comment